Kamis, 07 Juli 2011

isra mi'raj (mescy)





















GEORGE MESCY LOVERS

Dasar Waktu Shalat (mescy)

May 13, '08 11:50 PM
untuk
KAJIAN DASAR HUKUM WAKTU SHALAT

A.       DASAR HUKUM WAKTU SHALAT
1.      Surah An-Nisa : 103
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa: 103)[1]

2.      Surah Hud : 114
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Hud : 114).[2]

3.      Surah Al-Isra : 78
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Isra : 78)[3]

4.      Surah Thaha : 130
“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”  (Thaha : 130)[4]

5.      HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah
“Bahwasanya malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw untuk mengajarkan waktu-waktu shalat lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang berada di belakang Rasul. Lalu shalat dhuhur ketika matahari tergelincir. Lalu Jibril datang (lagi) ketika bayangan sesuatu itu sesuai dengan (tingginya), mereka melakukan seperti yang pernah dilakukan, lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, kemudian shalat ashar. Lalu Jibril datang lagi ketika matahari terbenam. lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, lalu shalat maghrib. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika awan merah itu hilang, lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, lalu shalat isya. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika terbit fajar, lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, lalu shalat pagi atau subuh. Pada hari berikutnya Jibril datang (lagi) ketika bayang-bayang sesuatu itu sama dengan (tinggi)nya. Lalu mereka melakukan seperti apa yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya, lalu  shalat dhuhur. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika bayangan sesuatu itu dua kali tingginya, lalu mereka melakukan seperti yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya kemudian shalat ashar. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika matahari terbenam lalu mereka melakukan seperti yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya lalu shalat maghrib. Kemudian Jibril datang (lagi) lalu mereka melakukan seperti yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya lalu shalat isya. Lalu kami tertidur lalu bangun, tertidur (lagi) dan bangun. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika fajar menyingsing dipagi hari, bintang-bintang pun samar-samar lalu mereka melakukan shalat subuh lalu Jibril berkata “saat diantara waktu itu adalah waktu shalat.” (HR. Imam Ahmad, Nasai dan Tirmidzi)[5]

6.      HR. Muslim dari Abdullah bin Amr
Waktu dhuhur apabila matahari tergelincir sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selam belum datang waktu ashar. Waktu ashar selama matahari belum menguning. Waktu maghrib selama mega merah belum hilang. Waktu isya sampai tengah malam. Waktu subuh mulai terbit fajar selam matahari belum terbit”. (HR. Muslim)[6]

B.       KAJIAN BEBERAPA KITAB TAFSIR
1.      Surah An-Nisa Ayat 103
*     Asbabunnuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Bani Hajar bertanya kepada Rasulullah Saw “Kami tukang bepergian dan berniaga. Bagaimana shalat kami?“ maka Allah menurunkan sebagian ayat ini (An-Nisa:101) yang membolehkan shalat di Qoshor. Wahyu tentang shalat ini kemudian terputus sampai “minas shalati”. Di dalam suatu peperangan yang terjadi setelah turunnya ayat di atas Rasulullah Saw mendirikan shalat dhuhur. Di saat itulah kaum musyrikin berkata “Muhammad dan teman-temannya memberi kesepakatan kepada kita untuk menggempur dari belakang, tidakkah kita perhebat serbuan terhadap mereka sekarang ini?” Maka berkatalah yang lainnya ”Sebaiknya kita ambil kesempatan ini karena nanti pun mereka akan melakukan perbuatan serupa di tempat yang sama.” Maka Allah menurunkan wahyu antara kedua shalat itu (dzuhur dan ashar) sebagai lanjutan ayat ini (An-nisa:101) yaitu “in khiftum” sampai “azdaban muhina” (An-Nisa:102) dan kemudian ayat sholatul khauf (An-Nisa:103), diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bersumber dari Ali.
*     Tafsiran
Berhubungan dengan surat An-Nisa ayat 103 itu, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengemukakan bahwa kata موقوتا diambil dari kata وقت . Dari segi bahasa kata ini digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada masa dimana seseorang harus menyelesaikannya. Apabila waktu itu berlalu maka pada dasarnya berlalu juga waktu shalat itu. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah sehingga firmannya melukiskan shalat sebagai كتابا موقوتا  berarti shalat adalah kewajiban yang tidak berubah, selalu dilaksanakan dan tidak pernah gugur apapun sebabnya. Pendapat ini dikukuhkan oleh penganutnya dengan berkata bahwa tidak ada alasan dalam konteks pembicaraan disini untuk menyebut shalat dalam keadaan-keadaan tertentu.
Dalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan tentang ditetapkannya waktu shalat diantaranya karena biasanya suatu perkara yang tidak mempunyai waktu-waktu tertentu tidak diperhatikan oleh banyak orang, disamping itu dzikir yang mendidik jiwa ini mengandung pendidikan amaliah bagi umat Islam karena mereka melaksanakan amal-amalnya di dalam waktu-waktu tertentu tanpa tawar menawar lagi oleh karena itu barang siapa yang melalaikan shalat 5 waktu, maka boleh jadi dia akan lupa kepada Rabbnya dan tenggelam pada lautan kelalaian. Berbeda dengan orang yang beriman kuat dan hatinya bersih, tidak cukup dengan berdzikir dan bermunajat kepada Allah dalam waktu yang sedikit, akan tetapi ia menambahnya dengan shalat-shalat nafilah.

2.      Surah Hud Ayat 114
*    Asbabunnuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita datang menghadap Rasulullah dan menerangkan peristiwa itu, maka Allah menerangkan ayat ini, yang menegaskan kejahatan itu dapat diampuni oleh Allah dengan melaksanakan shalat 5 waktu. Kemudian orang itu berkata “Apakah ini hanya berlaku bagi orang sekarang saja?” Nabi menjawab: “Untuk semua ummatku”. (Diriwayatkan oleh Asy-Syaukani oleh Ibnu Mas’ud)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Abil Yasar kedatangan seseorang yang membeli kurma. Ia berkata dan di rumahku ada kurma yang lebih baik dari ini, maka wanita itu bersamanya dan ia rangkul wanita itu bersamanya dan ia rangkul wanita itu serta menciumnya. Setelah itu ia menghadap kepada Rasulullah dan menerangkan kejadian tersebut. Bersabdalah Rasulullah “Beginikah engkau bila dititipi seorang istri oleh suaminya yang sedang berperang?” lama sekali Abil Yasar menundukkan kepalanya. Berkenaan dengan peristiwa itu turunlah ayat yang memerintahkan untuk mendirikan shalat 5 waktu, karena perbuatan yang baik akan menghapus perbuatan yang tidak baik. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Abil Yasar.
*     Tafsiran
Dalam Tafsir Al-Mishbah dikatakan bahwa ayat ini mengajarkan “Dan laksanakanlah shalat” dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya “pada kedua tepi siang” yakni pagi dan petang atau subuh,dzuhur dan ashar pada bagian permulaan dari malam. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. “Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu” yakni perbuatan-perbuatan baik seperti shalat, zakat, sedekah, istighfar dan aneka ketaatan lain dapat menghapuskan dosa kecil yang merupakan keburukan-keburukan yakni perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mudah dihindari manusia.
Kata زلفا  berarti waktu-waktu yang saling berdekatan, ada juga yang memahami kata ini dalam arti awal waktu setelah terbenamnya matahari. Atas dasar itulah maka banyak ulama memahami bahwa shalat yang dilaksanakan pada waktu itu adalah shalat yang dilaksanakan pada waktu gelap yakni shalat maghrib dan shalat isya.
Dalam Tafsir Al-Munir diterangkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang batasan-batasan waktu shalat yang artinya bahwa shalat harus dilakukan dengan rukun dan syarat yang sempurna agar seseorang terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Lafazh طرافى النهار berarti dua penghujung siang, meliputi tiga waktu shalat yaitu shalat shubuh, dhuhur, dan ashar. Dan lafadz وزلفا من الليل yang berarti sebagian dari malam meliputi waktu shalat maghrib dan shalat isya.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk mengerjakan shalat subuh itu ketika fajar mulai bersinar, adapun keutamaan mengerjakan shalat ashar ialah pada akhir waktu. Karena ayat ini menjelaskan tentang kewajiban mendirikan shalat dipenghujung siang. Pada penghujung siang, waktu pertama adalah ketika matahari terbit dan waktu yang kedua yaitu ketika matahari tenggelam.
3.      Surah Al-Isra Ayat 78
*     Asbabunnuzul
Penempatan ayat ini pada surah Al-Isra, ketika itu dalam suatu peristiwa Nabi Saw, dan umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan shalat 5 waktu wajib dalam sehari semalam, sedang ketika itu penyampaian Nabi Saw baru bersifat lisan dan waktu-waktu pelaksanaannya pun belum tercantum dalam Al-Qur’an. Hingga akhirnya turunlah ayat Al-Isra ini.
*     Tafsiran
Dalam Tafsir Al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan semua jenis shalat yang wajib dari sesudah matahari tergelincir sampai muncul gelapnya malam dan laksanakan pula seperti Al-Qur’an atau bacaan di waktu ”al-fajr” yakni shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu adalah bacaan yakni shalat yang disaksikan oleh para malaikat.
Kata دلوك   bentuk jamak dari  ﺩﻟﻚyang bila dikaitkan dengan matahari berarti tenggelam, menguning atau tergelincir dari tengahnya, ketiga makna ini mengisyaratkan secara jelas kewajiban shalat yakni zhuhur dan maghrib dan secara tersirat ia mengisyaratkan juga tentang shalat ashar. Karena shalat ashar bermula begitu matahari menguning, ini dikuatkan dengan redaksi ayat di atas yang menghinggakan perintah melaksanakan shalat sampai غسق الليل (kegelapan malam). Ulama Syi’ah ternama Thabathaba’i berpendapat bahwa kalimat لدلوك الشمس ﺇﻟﻰ غسق الليل mengandung 4 waktu untuk kewajiban mengerjakan shalat yakni shalat dhuhur, ashar, maghrib, dan isya. Firman Allah وقرأن الفجر secara harfiyah berarti (bacaan) Al-Qur’an diwaktu fajar. Tetapi karena ayat ini berbicara tentang konteks kewajiban shalat maka tidak ada bacaan wajib pada shalat fajar kecuali bacaan Al-Qur’an ketika shalat subuh. Semua penafsir sunnah atau syi’ah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah ini adalah untuk shalat fajar karena mempunyai keistimewaan tersendiri. Bukan saja karena shalat subuh disaksikan oleh malaikat, tetapi juga karena bacaan Al-Qur’an pada semua rakaat shalat subuh dianjurkan untuk dibaca secara ﺟﻬﺮ (jelas).
Dalam Tafsir Al-Ahkam dikatakan bahwa semua mufassir telah sepakat bahwa ayat ini menerangkan tetang waktu-waktu shalat yang lima. Dalam menafsirkan لدلوك الشمس  terdapat dua pendapat :
1.      Tergelincirnya atau condongnya matahari dari tengah langit, demikian diterangkan Umar bin Khattab dan putranya Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hasan, Sya’bi, Atha’, Mujahid, Qatadah, Abu Ja’far dan ini pula yang dipilih Ibnu Jarir.
2.      Terbenam matahari, demikian diterangkan Ali bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Ubaid dan yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Berkata Farra’دلوك  itu berarti waktu ketika matahari mulai condong sampai terbenam. Berdasarkan keterangan ini, maka ayat ini berarti kerjakan shalat dzuhur dan ashar mulai dari waktu condong sampai terbenamnya matahari. Selanjutnya  غسق الليل إلى  ialah shalat malam yakni shalat isya dan kata  وقرأن الفجر  ialah  shalat subuh.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa dalam surat ini Allah berfirman kepada Rasulullah seraya menyuruhnya mengerjakan shalat-shalat fardhu pada waktu-waktunya. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. Ibnu Katsir berkata, yakni tergelincir matahari. Pendapat senada dikemukakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Al-Hasan, Adh-Dhohak dan lainnya. Pendapat itu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Hadits riwayat dari Sahal bin Bakar dari Abu Umamah, Abu Aswad bin Qa’i, dari Nabbih Al-Anzi dari Jabir dari Rasulullah Saw menyebutkan bahwa saat shalat yang dimaksudkan dalam ayat diatas termasuk ke dalam shalat 5 waktu.
Dalam Tafsir Al-Maraghi, dijelaskan pula bahwa ayat di atas memerintahkan untuk melaksanakan shalat yang difardhukan kepadamu setelah tergelincirnya matahari sampai dengan gelapnya malam. Pernyataan ini mencakup shalat 4, yaitu shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan “tunaikanlah shalat subuh”. Dalam waktu tentang itu sunah nabi yang mutawatir telah menerangkan lewat perkataan atau perbuatan beliau, tentang rincian waktu-waktu shalat yang dilaksanakan oleh umat Islam. Sampai sekarang yang dilakukan dari masa nabi dan generasi ke generasi.
Dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Rasul untuk mendirikan shalat fardhu pada waktunya. Lafadh دلوك   yaitu ketika matahari tergelincir dan mulai condong ke arah barat dari pertengahan langit pada waktu itu meliputi empat waktu shalat, yaitu: shalat dhuhur, ashar, mahgrib, dan isya. Sedangkan lafadh وقرأن الفجر  berarti diriklanlah shalat fajar, yaitu shalat yang kelima (shalat subuh).

4.      Surah Thaha Ayat 130
*     Asbabunnuzul
Dijelaskan bahwa (kalaulah tiada firman Allah terdahulu yang menetapkan bahwa Allah tidak akan menyiksa seorang pun sebelum dia menegakkan hujjah kepada-Nya, niscaya  adzab itu menimpa mereka di dunia secara mendadak) namun Dia telah menetapkan  bahwa pengazaban atas mereka itu pada batas waktu yang telah ditetapkan yaitu pada akhirat, karenanya Allah menghibur Rasulullah dengan firman-firman-Nya ”maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan”, kemudian turun ayat ini yang menyuruh Rasulullah untuk bertasbih kepada Allah yaitu dengan shalat fajar, dhuhur, ashar, shalat maghrib dan isya.


*    Tafsiran
Menurut Quraisy Syihab dalam Tafsir Al-Mishbah dijelaskan bahwa ayat وسبح بحمد ربك (Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu) dapat dipahami dalam pengertian umum, yakni perintah bertasbih dan bertahmid, menyucikan dan memuji Allah baik dengan hati, lidah, maupun perbuatan. Ada juga ulama yang memahami perintah bertasbih berarti perintah melaksanakan shalat, karena shalat mengandung tasbih, penyucian Allah dan pujian kepada-Nya. Dengan demikian ayat tersebut bisa dijadikan isyarat tentang waktu-waktu shalat yang ditetapkan Allah.
قبل طلوع الشمس / Sebelum matahari terbit mengisyaratkan shalat subuh.
قبل ﺍﻟﻐروب / Sebelum matahari terbenam mengisyaratkan shalat ashar.
آناء الليل / Pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat maghrib dan isya.
أطراف النهار  / Pada penghujung dua siang yaitu shalat dzuhur.
Kata أطراف adalah bentuk jamak dari طرف  yang artinya penghujung. Digunakan untuk menunjuk akhir pertengahan awal dari siang dan awal pertengahan akhir. Waktu dhuhur masuk dengan tergelincirnya matahari yang merupakan penghujung dari pertengahan awal dan akhir dari pertengahan akhir.
Kata آناء adalah bentuk jamak dari kata ﺇناء yakni waktu. Perbedaan redaksi perintah bertasbih di malam hari dengan perintah betasbih sebelum terbit dan sebelum terbenamnya matahari oleh Al-Biqo’i dipahami sebagai isyarat tentang keutamaan shalat di waktu malam. Karena waktu tersebut adalah waktu ketenangan tetapi dalam saat yang sama berat untuk dilaksanakan.
Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini turun berkenaan asbabun nuzul dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa kalaulah tiada firman Allah yang terdahulu bahwa Dia dia tidak akan menyiksa seorang pun sebelum dia menegakkan hujjah kepadanya. Niscaya azab itu menimpa mereka di dunia secara mendadak. Namun, dia telah menetapkan bahwa pengazaban atas mereka itu pada batas waktu yang telah ditetapkan yaitu di akhirat, karena itu Allah menghibur nabi-Nya dengan firman-Nya “Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan” yaitu “pendustaan mereka terhadapmu”, dan ”bertasbihlah memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari“ yakni shalat fajar dan sebelum terbenamnya yakni shalat ashar.
Dalam Tafsir Al-Munir diterangkan bahwa pada ayat ini Allah Swt memerintahkan kepada Rasul untuk bersabar atas cemoohan, hinaan dan fitnahan dari kaum musyrikin dengan menyucikan Tuhan, serta memuji dan bersyukur kepada-Nya dengan mendirikan shalat 5 waktu, sebelum terbit matahari yaitu shalat shubuh dan sebelum terbenam matahari yaitu shalat dhuhur dan ashar. Dan pada waktu malam yaitu shalat mahgrib dan shalat isya. Lafadz أطراﻑ النهار menunjukkan waktu shalat dhuhur dan maghrib karena dhuhur masuk di penghujung siang pertama dan awal penghujung siang yang kedua, dan penghujung yang ketiga yaitu ketika matahari terbenam untuk shalat maghrib.

5.      HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Jabir bin ‘Abdullah
Ketentuan tetang adanya pembagian-pembagian untuk waktu shalat sebenarnya sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an tetapi hanya secara global. Sedangkan bila ingin mengetahui dalil tentang waktu-waktu shalat secara lebih spesifik, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah Saw yang shahih dan qath`i. Salah satunya adalah hadits berikut :

عن ﺟﺎبر بن عبد الله رضى الله عنه قال ان النبي صلى الله عليه وسلم جاءه جبريل عليه السلام فقال له قم فصله فصلى الظر حين زالت الشمس ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثله ثم جاءه المغرب فقال قم فصله فصلى المغرب حين وجبت الشمس ثم جاءه العشاء فقال قم فصله فصلى العشاء حين غاب الشفق ثم جاءه الفجر فقال قم فصله فصلى الفجر حين برق الفجر و قال سطع البحر ثم جاءه بعد الغد للظهر فقال قم فصله فصلى الظهر حين صار ظل كل شئ مثله ثم جاءه العصر فقال قم فصله فصلى العصر حين صار ظل كل شئ مثله ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه ثم جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل اوقال ثلث الليل فقال قم فصله فصلى العشاء حين جاءه حين اسفر جدا فقال قم فصله فصلى الفجر ثم قال ما ﺑﻴﻦ هذين الوقتين وقت (رواه احمد والنسائ والترمذى)
Artinya:
”Bahwasanya malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw untuk mengajarkan waktu-waktu shalat lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang berada di belakang Rasul. Lalu shalat dhuhur ketika matahari tergelincir. Lalu Jibril datang (lagi) ketika bayangan sesuatu itu sesuai dengan (tingginya), mereka melakukan seperti yang pernah dilakukan, lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, kemudian shalat ashar. Lalu Jibril datang lagi ketika matahari terbenam. lalu Jibril maju ke depan sedangkan rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, lalu shalat maghrib. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika awan merah itu hilang, lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, lalu shalat isya. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika terbit fajar, lalu Jibril maju ke depan sedangkan Rasul di belakangnya dan orang-orang di belakang Rasul, lalu shalat pagi atau subuh. Pada hari berikutnya Jibril datang (lagi) ketika bayang-banyang sesuatu itu sama dengan (tinggi)nya. Lalu mereka melakukan seperti apa yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya, lalu  shalat dhuhur. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika bayangan sesuatu itu dua kali tingginya, lalu mereka melakukan seperti yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya kemudian shalat ashar. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika matahari terbenam lalu mereka melakukan seperti yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya lalu shalat maghrib. Kemudian Jibril datang (lagi) lalu mereka melakukan seperti yang pernah mereka lakukan pada hari sebelumnya lalu shalat isya. Lalu kami tertidur lalu bangun, tertidur (lagi) dan bangun. Kemudian Jibril datang (lagi) ketika fajar menyingsing dipagi hari, bintang-bintang pun samar-samar lalu mereka melakukan shalat subuh lalu Jibril berkata “saat diantara waktu itu adalah waktu shalat.” (HR. Imam Ahmad, Nasai dan Tirmidzi)

Di dalam kitab Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat. Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat.

6.      HR. Muslim dari Abdullah bin Amr

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال ان النبي صلى الله عليه وسلم قال وقت الظراذا زالت الشمس وكان ظل كل رجل كطوله مالم يحضر العصر ووقت العصر مالم تصفر الشمس ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صلاة العشاء الى نصف الليل الاوسط ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس (رواه مسلم)
Artinya:
Waktu dhuhur apabila matahari tergelincir sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum datang waktu ashar. Waktu ashar selama matahari belum menguning. Waktu maghrib selama mega merah belum hilang. Waktu isya sampai tengah malam. Waktu subuh mulai terbit fajar selama matahari belum terbit.” (HR. Muslim)

Point-point yang dapat diambil dari dasar hukum di atas: [7]
a.       Waktu-waktu shalat telah ditentukan oleh Allah melalui malaikat Jibril.
b.      Shalat dhuhur dimulai sejak matahari tergelincir sempai dengan bayang-bayang sesuatu itu sama atau dua kali panjangnya.
c.       Shalat ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya atau sejak bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya sampai matahari menguning.
d.      Shalat maghrib dimulai sejak matahari terbenam sampai hilang mega merah.
e.       Shalat isya dimulai sejak hilangnya mega merah sampai tengah malam atau sampai terbit fajar.
f.        Shalat subuh sejak terbit fajar sampai terbit matahari.

Berpegang pada hadits-hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa waktu-waktu shalat adalah sebagai berikut:[8]
a.       Waktu shalat dhuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu shalat ashar.
b.      Waktu shalat ashar dimulai ketika panjangn bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tiba waktu shalat maghrib.
c.       Waktu shalat maghrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tibanya waktu shalat isya.
d.      Waktu shalat isya dimulai sejak hilangnya mega merah sampai separuh malam, ada yang mengatakan sepertiga, dan ada juga yang mengatakan bahwa akhir shalat isya adalah waktu terbitnya fajar (waktu shalat subuh).
e.       Waktu shalat subuh dimulai sejal terbit fajar sampai terbitnya matahari.

C.       SEGI FIQH
1.      Fiqih Lima Madzhab
a.     Waktu Dua Dhuhur (Dhuhur dan Ashar)
Para ahli fiqih memulai dengan waktu shalat dhuhur karena ia merupakan shalat pertama yang difardhukan, kemudian shalat ashar, shalat maghrib, shalat isya, kemudian shalat subuh secara tertib. Kelima shalat tersebut diwajibkan di Mekah pada malam isra setelah 9 tahun diutusnya Rasulullah Saw berdasarkan firman Allah dalm Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 78.
Para ulama madzhab sepakat bahwa shalat tidak boleh didirikan sebelum masuk waktunya dan sepakat apabila matahari telah tergelincir berarti telah masuk waktu dhuhur, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas ketentuan waktu dhuhur tersebut.
Menurut imamiyah, waktu dhuhur itu hanya khusus dari setelah tergelincirnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya dan waktu ashar juga khusus dari akhir waktu siang sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Antara waktu pertama dan waktu terakhir itu ada waktu musytarak (menggabungkan antara 2 shalat) yaitu shalat dhuhur dan ashar. Dengan dasar inilah imamiyah membolehkan melakukan jamak antara dhuhur dan ashar, yaitu pada waktu musytarak. Apabila waktunya sempit dan sisa waktunya hanya cukup untuk mendirikan shalat dhuhur saja maka boleh mendahulukan shalat ashar kemudian shalat dhuhur pada waktu terakhir dengan qodho.
Menurut Imam Empat madzhab, waktu dhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang aslinya. Apabila lebih walau hanya sedikit, berarti waktu dhuhur telah habis. Tetapi Imam Syafi’i dan Maliky berpendapat bahwa batasan ini hanya berlaku bagi setiap orang dalam keadaan lapang sedangkan bagi orang yang terpaksa maka waktu dhuhur itu bisa dilaksanakan sampai bayang-bayang suatu benda lebih panjang dari benda tersebut.
Menurut Imamiyah, ukuran waktu ketika panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang benda tersebut merupakan waktu dhuhur yang paling utama. Dan waktu ashar yang paling utama adalah ketika ukuran bayang-bayang suatu benda lebih panjang 2 kali dari ukuran benda tersebut. Imam Hanafy dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa waktu ashar dimulai ketika bayang-bayang sesuatu benda melebihi panjang aslinya sampai waktu terbenam matahari. Sedangkan menurut Imam Maliky, shalat ashar mempunyai 2 waktu. Pertama yaitu ketika bayang-bayang sesuatu benda melebihi panjang aslinya sampai kuningnya matahari. Kedua yaitu ketika sinar matahari kekuning-kuningan sampai terbenam matahari. Lalu menurut Imam Hambali, waktu shalat ashar yang paling akhir adalah ketika bayang-bayang suatu benda lebih panjang dua kali dari panjang benda tersebut. Dan pada saat itu boleh mendirikan shalat ashar sampai terbenamnya matahari, hanya orang yang shalat pada waktu itu tetap dosa dan diharamkan sampai mengakhirkannya. Dan madzhab-madzhab lain tidak sependapat dengan pendapat Imam Hambali di atas.

b.     Waktu Dua Isya’ (Mahgrib Dan Isya’)
Imam Syafi’i dan Imam Hambali berpendapat bahwa waktu shalat maghrib dimulai dari hilangnya sinar matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya merah di arah barat. Menurut Imam Maliky, sesungguhnya waktu maghrib itu sempit, yaitu dari awal tenggelamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, yang termasuk di dalamnya cukup untuk bersuci dan azan. Tidak boleh pula sengaja mengakhirkannya. Menurut Imamiyah, waktu shalat mahgrib dimulai dari awal waktu terbenamnya matahari sampai diperkirakan dapat melaksanakannya. Sedangkan waktu isya’ khusus dari akhir separuh malam bagian pertama (kalau malam itu dibagi dua) sampai diperkirakan dapat melaksanakannya, di antara waktu tersebut merupakan waktu musytarak sehingga mereka (imamiyah) membolehkan melakukan shalat jamak pada waktu musytarak ini.

c.      Waktu Subuh.
Menurut kesepakatan Imam Madzhab kecuali Imam Maliky, waktu subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari. Sedangkan menurut Imam Maliky sendiri waktu subuh itu terbagi menjadi dua. Yang  pertama adalah Ikhityar (memilih) yaitu dari terbitnya fajar sampai terlihatnya wajah, dan yang kedua adalah Idhtirari (terpaksa) yaitu dari terlihatnya wajah sampai terbitnya matahari.

2.      Kitab Bidayatul Mujtahid
a.     Shalat Dhuhur
Orang Islam berbeda pendapat tentang 5 waktu shalat, diantaranya waktu shalat yang utama dan waktu shalat yang luas.
Pertama, ulama bersepakat bahwa awal waktu dhuhur dimulai ketika tergelincirnya matahari, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Adapun akhir waktunya yang luas menurut Imam Malik, Syafi’i, Abu Tsawar dan Dawud yaitu ketika bayang-bayang sesuatu sama dengan bendanya. Menurut Abu Hanifah ketika bayang-bayang suatu benda dua kali benda itu adalah akhir waktu dhuhur dan awal waktu ashar. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad (teman Abu Hanifah) meriwayatkan darinya bahwa akhir waktu dhuhur adalah ketika bayang-bayang sesuatu sama dengan bendanya, dan awal waktu ashar adalah ketika bayang-bayang sesuatu sama dengan dua kali bendanya. Adapun waktu antara keduanya tidak baik atau tidak pantas untuk melakukan shalat dhuhur.
Kedua, untuk waktu shalat yang lebih utama ada beberapa pendapat:
F     Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik shalat pada awal waktu lebih utama kecuali dalam keadaan sangat panas.
F     Menurut suatu kelompok bahwa mengerjakan shalat pada awal waktu lebih utama berdasarkan pada hadits riwayat muttafaqun ’alaih.

b.     Shalat Ashar
Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan waktu shalat ashar, yaitu:
*   Gabungan awal waktu shalat ashar dengan akhir waktu shalat dhuhur.
*    Pada akhir waktu shalat ashar.
Adapun perbedaan dalam إمامة جبريل  Imam Syafi’i, Daud dan Jamaah bersepakat bahwa sesungguhnya awal waktu ashar ialah dengan adanya waktu dhuhur ketika bayang-bayang itu sama dengan bendanya.
*     Menurut Imam Malik, sesungguhnya akhir waktu dhuhur adalah waktu             untuk dua shalat bersama-sama, yakni kira-kira 2 shalat 4 rakaat.
*     Imam Syafi’i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat bahwa akhir waktu dhuhur adalah saat habis waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar.
*     Menurut Abu Hanifah, awal waktu shalat ashar ialah ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari panjang benda aslinya.
*    Menurut Imam Ahmad bin Hambal akhir waktu ashar adalah sebelum menguningnya matahari.
*     Pendapat ahli dhohir yang merujuk kepada hadits riwayat Abu Hurairah adalah akhir waktu shalat ashar itu sebelum terbenamnya matahari kira-kira satu rakaat.

c.      Shalat Maghrib
Para ulama berbeda pendapat tentang shalat maghrib apakah waktu shalat maghrib itu luas seperti shalat-shalat yang lain atau tidak. Yang paling masyhur adalah pendapat suatu kaum yang merujuk pada hadits riwayat Imam Malik dan Syafi’i bahwa sesungguhnya waktu shalat maghrib itu tidak luas. Sedangkan Imam Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud berpendapat bahwa sesungguhnya waktu shalat maghrib itu luas, yaitu antara tenggelamnya matahari sampai tenggelamnya mega.[9]

D.       ANALISIS
1.      Kedudukan Matahari Pada Awal Waktu Shalat
Bertolak dari ketentuan syar’i tentang waktu-waktu shalat di atas, yakni tergelincirnya matahari, panjang pendeknya bayang-bayang sesuatu, terbenam matahari, mega merah, waktu fajar, dan terbit matahari, seluruhnya merupakan fenomena alam yang berpegang pada kedudukan matahari. Oleh Karena itulah ilmu falak memahami bahwa waktu shalat tersebut didasarkan pada fenomena matahari. Kemudian diterjemahkan dengan kedudukan atau posisi matahari pada saat membuat atau mewujudkan keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi awal atau akhir waktu shalat.
a.       Waktu dhuhur dimulai saat matahari berada terlepas dari titik kulminasi atas atau ketika matahari terlepas dari meridian langit.
b.      Waktu ashar yaitu ketika matahari berkulminasi atau berada di meridian (awal waktu dhuhur). Barang yang berdiri tegak lurus di permukaan bumi belum tentu memiliki bayangan.
c.       Waktu maghrib adalah waktu matahari terbenam. Dikatakan matahari terbenam apabila -menurut pandangan mata- piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk.
d.      Waktu isya apabila tinggi matahari -18o.
e.       Waktu terbit ditandai dengan piringan atas matahari bersinggungan dengan ufuk sebelah timur, sehingga ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk waktu maghrib berlaku pula untuk waktu matahari terbit. Oleh karena itu tinggi matahari pada waktu terbit adalah -1o.
f.        Waktu dhuha dimulai ketika matahari setinggi tombak. Dalam ilmu falak diformulasikan dengan jarak busur sepanjang lingkaran vertikal dihitung dari ufuk sampai posisi matahari pada awal waktu dhuha yakni 3 o 30’[10].

Dari sudut fiqih, waktu shalat fardhu seperti dinyatakan di dalam kitab-kitab fiqih adalah sebagai berikut :

a.     Waktu Shalat Zuhur 
Menurut hadits riwayat Bukhari dari Jabir bin Abdullah ra, Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat dhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari dan berakhir apabila bayang-bayang suatu benda berukuran dua kali panjang benda tersebut. Namun Abu Hanifah tidak menjelaskan alasannya. Sedangkan menurut jumhur ulama, waktu berakhirnya shalat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah itu sudah merupakan waktu shalat ashar, bukan waktu shalat dhuhur lagi. Dalam ilmu falak, saat tergelincirnya matahari adalah saat setelah matahari mrncapai titik kuliminasi dalam peredaran hariannya.[11]
Disebut juga waktu istiwa (zawaal) terjadi ketika matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan "tengah hari" (midday/noon). Pada saat istiwa, mengerjakan ibadah shalat (baik wajib maupun sunnah) adalah haram. Waktu zhuhur tiba sesaat setelah istiwa, yakni ketika matahari telah condong ke arah barat. Waktu "tengah hari" dapat dilihat pada almanak astronomi atau dihitung dengan menggunakan algoritma tertentu. Secara astronomis, waktu Zhuhur dimulai ketika tepi "piringan" matahari telah keluar dari garis zenith, yakni garis yang menghubungkan antara pengamat dengan pusat letak matahari ketika berada di titik tertinggi (istiwa). Secara teoritis, antara istiwa dengan masuknya zhuhur membutuhkan waktu 2,5 menit, dan untuk faktor keamanan, biasanya pada jadwal shalat, waktu zhuhur adalah 5 menit setelah istiwa (sudut z°).

b.     Waktu Shalat Ashar 
Menurut mazhab Imam Syafi'i, Imam Maliki, dan Imam Hambali, waktu Ashar diawali jika panjang bayang-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Madzhab Imam Hanafi mendefinisikan waktu ashar jika panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Waktu ashar dapat dihitung dengan algoritma tertentu yang menggunakan trigonometri tiga dimensi. Secara astronomis ketinggian matahari saat awal waktu ashar dapat bervariasi tergantung posisi gerak tahunan matahari/gerak musim. Di Indonesia khususnya Depag menganut kriteria waktu ashar adalah saat panjang bayangan sama dengan panjang benda ditambah panjang bayangan saat istiwa.

c.      Waktu Shalat Maghrib  
Waktunya bermula apabila matahari terbenam sampai hilangnya cahaya merah di langit Barat. Secara astronomis waktu maghrib dimulai saat seluruh piringan  matahari masuk ke horizon  yang terlihat (ufuk Mar'i) sampai kedudukan matahari  sebesar m° di bawah horizon Barat.  Di Indonesia khususnya Depag menganut kriteria sudut m sebesar 18° di bawah horison Timur.

d.     Waktu Shalat Isya 
Waktu Isya didefinisikan dengan ketika hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit Barat, hingga terbitnya fajar shaddiq di langit timur. Secara astronomis, waktu shalat isya  merupakan kebalikan dari waktu shalat subuh. Secara astronomis waktu shalat isya dimulai saat kedudukan matahari  sebesar 1° di bawah horizon Barat sampai sebelum posisi matahari sebesar 20° di bawah horizon Timur.[12]

e.     Waktu Shalat Subuh
Waktunya bermula  dari terbit fajar shadiq sehingga terbit matahari (syuruk). Fajar shadiq ialah cahaya putih yang melintang  mengikut garis lintang ufuk di sebelah Timur. Menjelang pagi hari, fajar ditandai dengan adanya cahaya yang menjulang tinggi (vertikal) di horizon Timur yang disebut "fajar kadzib". Lalu kemudian menyebar di cakrawala (secara horizontal), dan ini dinamakan "fajar shadiq". Secara astronomis subuh dimulai saat kedudukan matahari  sebesar S° di bawah horizon Timur sampai sebelum piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat (ufuk Mar'i). Di Indonesia khususnya Depag menganut kriteria sudut S sebesar 20° di bawah horizon Timur.
Pendapat lain yaitu shalat shubuh itu dimulai ketika munculnya syafaqul ahmar, yaitu mega yang berwarna merah di ufuk timur. Mega ini muncul jauh sebelum terbitnya matahari, yang menjadi batas berakhirnya waktu shubuh. Di dalam rentang waktu antara mega merah dan terbitnya matahari inilah shalat shubuh dilakukan. Keluar dari waktunya secara sengaja, tentu tidak bisa diterima shalatnya. Kecuali bila dalam kasus tertentu seperti orang yang bangun kesiangan.[13]

f.       Waktu Shalat Dhuha
Shalat Dhuha adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha. Jumlah raka'at shalat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 raka'at. Dan dilakukan dalam satuan 2 raka'at sekali salam.[14]
Shalat dhuha dilakukan ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Karena kata dhuha itu sendiri artinya terbit atau naiknya matahari. Namun beberapa ulama fikih berbeda pendapat tentang ketentuan waktunya. Menurut Susiknan Azhari, waktu dhuha dihitung 20 menit sesudah matahari terbit sampai menjelang kulminasi matahari. Dalam syari’at Islam waktu shalat dhuha dimulai sejak matahari setinggi tombak. Menurut pendapat ahli falak saat itu ketinggian matahari sekitar 4º 42’ dari kaki langit sebelah timur.[15]

g.     Ketentuan Waktu Shalat Untuk Daerah Kutub
Dalam penentuan ibadah shalat yang telah kita perdalami bersama terdapat beberapa problem menyangkut kentuan waktu shalat, antara lain :
1.      Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
2.      Wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat isya-nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib.
3.      Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam.

Pendapat Yang Lain
a.       Mengikuti Waktu Hijaz, yaitu jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di kutub utara dan selatan.
b.      Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat. Yaitu jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta Sultan/Khalifah muslim.

Kedua  pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.[16] Dan tentang ketentuan waktu shalat untuk daerah kutub sampai sekarang masih menjadi permasalahan  karena belum ada ketetapan yang pasti menyangkut tempat terdekat yang bisa dijadikan ukuran waktu untuk melaksanakan ibadah shalat 5 waktu serta puasa ramadhan.

h.     Waktu Sahur Dan Imsak Menurut Pertimbangan As-Sunnah
Setiap muslim dewasa ini mengenal istilah imsak, terutama di bulan Ramadhan. Imsak maksudnya adalah tidak makan dan minum pada waktu sahur karena waktu sudah mendekati subuh atau waktu sahur sudah dianggap habis. Sedangkan arti dari imsak itu sendiri adalah :
1.      Menahan diri dari sesuatu.[17]
2.      Berpantang makan dan minum. Bagian terakhir pada malam bulan ramadhan.[18]
3.      Menahan untuk makan dan minum atau hal-hal yang membatalkan puasa jika telah datang fajar shadik sebagai akhir waktu pada malam hari bulan ramadhan.[19]
4.      Secara harfiah berarti menahan atau memelihara. Digunakan untuk pengertian sebutan untuk menahan diri dari makan dan minum serta hal lain yang membatalkan puasa menjelang terbitnya fajar (waktu subuh). Tetapi waktu imsak bukanla suatu keharusan karena waktu imsak adalah usaha untuk melakukan ihtiyat (kehati-hatian) demi kesempurnaan pelaksanaan ibadah puasa.[20]

Pendapat Yang Lain
Pendapat yang lain tentang ketetapan waktu imsak adalah bersumber dari hadits riwayat Bukhari dan Muslim:

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ اِلَى الصَّلاَةِ قَالَ : اَنَسٍ قُلْتُ لِزَيْدكَمْ كَانَ بَيْنَ الاَذَانِ وَالسَّحُوْرِ ؟ قَالَ : قَدْرُخَمْسِيْنَ آيَةً
Artinya :
Dari Zaid bin Thabit berkata: Kami bersahur bersama Rasulullah, kemudian baginda bangkit untuk solat Subuh. Anas berkata, bertanya kepada Zaid, berapa jarak antara azan subuh dan sahur? Beliau menjawab: Sekitar bacaan lima puluh ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun yang dimaksud dengan azan pada hadits di atas ialah iqamah. Ia dijelaskan di sahih Bukhari dan Muslim dari Anas dari Zaid, ia berkata: Kami sahur bersama Rasulullah kemudian bangkit untuk shalat. Anas bertanya. Berapa lama antara sahur dan shalat? Zaid berkata: ”Sekitar lima puluh ayat”. Anas meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahawa Zaid bersahur bersama Rasulullah dan termasuk kebiasaan Rasulullah bersahur menjelang subuh, setelah bersahur Rasulullah bangkit untuk melaksanakan shalat subuh. Anas bertanya kepada Zaid: Berapa lama jarak iqamah dan sahur? Zaid berkata: Sekitar bacaan lima pulah ayat.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai lama membaca 50 ayat al-Qur’an diantaranya sebagai berikut:
1.      Dalam kitab Nailul Author disebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat Al-Qur’an adalah seukuran melakukan Wudlu’.
2.      Dalam kitab Al-Khulasatul Wafiyyah yang disusun oleh kyai Zubeir, pada halamn 99 disebutkan bahwa imsak seukuran membaca  50 ayat al-Qur’an yang pertengahan secara tartil, yaitu sekitar 7 atau 8 menit.
3.      Sementara itu Sa’adoedin Djambek biasa mempergunakakan 10 menit sebelum subuh. Pendapat yang terakhir ini yang banyak digunakan pada penyusunan jadwal imsakiyah di Indonesia.[21]

2.      Ensiklopedi Ijmak
a.       Untuk waktu shalat dhuhur ulama bersepakat bahwa waktu dhuhur adalah waktu antara lengsernya matahari sampai bayangan setiap benda menjadi sama dengan benda tersebut sesudah dikurangi saat lengser itu sendiri. Sebagian sahabat memperbolehkan shalat dhuhur dikerjakan sebelum lengsernya matahari, tetapi menurut keputusan ijmak lengsernya matahari adalah permulaan waktu dhuhur. [22]
b.      Untuk waktu shalat ashar tidak ada perbedaan di kalangan ahlul ‘ilmi, bahwa permulaan waktu shalat ashar adalah ketika bayangan setiap benda menjadi sama dengan benda tersebut. Pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah mengatakan bahwa permulaan waktu ashar ialah pada waktu bayangan setiap benda menjadi dua kali benda tersebut. Semua orang termasuk mereka yang berguru kepada beliau tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini. Tetapi sekelompok dari golongan Hanafi mendukung beliau. [23]
c.       Waktu shalat maghrib menurut ijmak, jika matahari telah tenggelam dengan sempurna, waktu itu adalah waktu shalat maghrib. Menurut riwayat dari golongan Syi’ah, mereka mengakhirkan shalat maghrib sampai waktu bintang bertaburan[24].
d.      Untuk waktu shalat isya, menurut ijmak yaitu ketika hilangnya syafaq abyadh (sisa kilau matahari yang tampak kemerahan di langit ini bermula sejak terbenamnya matahari dan dinamakan syafaq ahmar. Kalau kemerah-merahan ini hilang, tinggallah apa yang disebut syafaq abyadh) –akhir dari dua syafaq- adalah waktu untuk shalat isya sampai terbitnya fajar. [25]
e.       Untuk permulaan waktu shalat subuh menurut ijmak yaitu ketika terbitnya fajar shadiq atau semburat putih yang melintang di ufuk timur di tempat terbitnya matahari disetiap masa, berpindah menurut perpindahan matahari. Ia merupakan permulaan sinar matahari. Lalu bertambah putih dan terkadang bercampur dengan warna merah yang indah. Fajar ini disebut fajar akhir. Adapun fajar awal yaitu seleret sinar yang vertikal di angkasa. Seperti seekor serigala lalu setelah itu muncul kegelapan di ufuk, pada waktu itu belum masuk waktu subuh tanpa ada perbedaan dikalangan umat Islam. [26]
Para ulama sepakat bahwa akhir untuk waktu fajar ialah terbitnya matahari, kecuali menurut pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Qosim dan sebagian Ashhabus Syafi’iy bahwa akhir waktunya adalah bersinarnya matahari.

E.        HIKMAH DITETAPKANNYA WAKTU SHALAT
Ringkasan shalat 5 waktu itu dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu, agar orang mukmin selalu ingat kepada Rabbnya di setiap waktu, sehingga kelengahan tidak membawanya pada perbuatan buruk.
Adanya waktu-waktu untuk shalat dan aneka ibadah yang ditetapkan Islam mengharuskan adanya pembagian teknis menyangkut masa. Yang bertujuan  agar umat Islam memiliki rencana jangka pendek dan panjang untuk berusaha menyelesaikan setiap rencana itu tepat pada waktunya.  

F.        KESIMPULAN
Secara syar’i shalat yang diwajibkan itu telah ditentukan waktunya. Al-Qur’an tidak menerangkan secara terperinci waktu-waktu pelaksanaan shalat lima waktu. Al-Qur’an hanya menyatakan bahwa shalat itu merupakan kewajiban yang telah ditetapkan waktunya bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 103. Akan tetapi di dalam hadits Rasulullah Saw waktu-waktu shalat telah dinyatakan secara terperinci, batas awal sampai batas akhir waktu setiap shalat.[27]
Dari  seluruh bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penentuan waktu-waktu shalat fardhu[28], sebagai berikut:
Ø      Waktu Salat Dzuhur
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari (ebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi) hingga ketika bayangan lebih panjang daripada bendanya maka waktu salat zuhur telah berakhir.

Ø      Waktu Salat Ashar
Mulai dari tergelincirnya matahari hingga bayangannya lebih panjang dari bendanya hingga beberapa saat menjelang terbenamnya matahari. Dasarnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh enam periwayat (Akhrojahu sittah; Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah) dari Abi Hurairah yang artinya : Barang siapa yang telah mendapatkan satu raka’at shalat subuh sebelum terbitnya matahari, maka ia telah mendapat shalat subuh seluruhnya. Dan barang siapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ashar sebelum terbenamnya matahari, maka ia telah mendapatkan shalat ashar seluruhnya. Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi matahari akan terbenam. ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafik.[29]

Ø      Waktu Salat Maghrib
Mulai dari terbenamnya matahari sampai hilangnya warna merah di ufuk barat. Hadist yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah bin Umar menerangkan bahwa waktu shalat magrib berlangsung selama tidak hilangnya warna merah di ufuk barat.

Ø      Waktu Salat Isya
Mulai dari hilangnya warna merah di ufuk barat sampai terbitnya fajar shadiq atau menjelang terbitnya fajar shadiq. Waktu terbaik bagi salat isya ialah pada sepertiga malam atau seperdua malam. Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Abu Hurairah.
Adapun waktu-waktu yang afdhal (terbaik) untuk melaksanakan shalat isya adalah sebagai berikut :
*  Madzhab Hanafi mengatakan bahwa shalat isya disunnahkan untuk ditangguhkan sampai sebelum sepertiga malam pertama.
*    Imam Syafi’i mengatakan bahwa pelaksanaan shalat tidak terkecuali shalat isya lebih baik pada awal waktunya.
*  Adapun menurut Imam Hambali untuk shalat isya lebih baik diperlambat pelaksanaannya.

Ø      Waktu Salat Subuh
Mulai dari terbit fajar shadiq sampai terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar shadiq ialah fajar putih yang sinarnya terbentang di ufuk timur, lawan dari fajar kadzib yaitu fajar putih yang memanjang dan mengarah ke bagian atas di pertengahan langit. Hal ini didasarkan pada hadist riwayat An-Nasai dan Ahmad dari Abdullah bin Umar yang menyatakan bahwa waktu shalat subuh mulai dari terbit fajar sampai terbitnya matahari.

Ø      Waktu Shalat Dhuha
Shalat Dhuha adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha. Para ulama fikih berbeda pendapat tentang ketentuan waktunya. Menurut Susiknan Azhari, waktu dhuha dihitung 20 menit sesudah matahari terbit sampai menjelang kulminasi matahari. Dalam syari’at Islam waktu shalat dhuha dimulai sejak matahari setinggi tombak. Menurut pendapat ahli falak saat itu ketinggian matahari sekitar 4º 42’ dari kaki langit sebelah timur

Ø      Waktu Terbit
Waktu terbitnya matahari disebut juga waktu Syuruq. Waktu syuruq menandakan berakhirnya waktu Shubuh. Waktu terbit matahari (waktu syuruq) dapat dilihat pada almanak astronomi atau dihitung dengan menggunakan algoritma tertentu.

Ø      Waktu Shalat di Daerah Kutub
Untuk permasalahan ini juga terdapat berbagai macam pendapat yaitu: pertama, menggunakan standarisasi waktu atau mengikuti jadwal waktu di tempat yang siang dan malamnya hampir seimbang. Kedua, mengikuti waktu daerah terdekat yang masih ada pergantian siang dan malam. Ketiga, mengikuti waktu hijaz yaitu jadwal waktu shalat di Mekah, Madinah dan sekitarnya dengan alasan perintah shalat pertama kali diturunkan di daerah tersebut. Dan yang keempat mengikuti jadwal Negara Islam terdekat dengan daerah tersebut. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sampai sekarang adalah belum adanya ketetapan daerah terdekat yang harus dijadikan acuan waktu dalam mengerjakan ibadah shalat fardhu.

Ø      Waktu Imsak
Waktu imsak maksudnya adalah jeda waktu untuk berhenti makan dan minum pada waktu sahur karena waktu sudah mendekati subuh. Para ulama berbeda pendapat mengenai lama membaca 50 ayat al-Qur’an diantaranyasa seukuran melakukan wudhu seperti keterangan dalam kitab Nailul Author, jeda waktu sekitar 7 atau 8 menit menurut kitab Al-Khulasatul Wafiyyah yang disusun oleh kyai Zubeir, dan 10 menit sebelum subuh menurut Sa’adoedin Djambek dan pendapat yang terakhir ini banyak digunakan pada penyusunan jadwal imsakiyah di Indonesia



DAFTAR PUSTAKA
*          Al-Habsyi, Husin, 1986Kamus Ak-Kautsar Lengkap Arab Indonesia, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPI)
*          Al-Maliki, Alawi Abbas Dan Hasan Sulaiman An-Nuri, 1994, Ibaanatul Ahkaam (Penjelasan Hukum-Hukum Syari’at Islam), Bandung : Sinar Baru Algensindo.
*         Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, 1986, Tafsir Al-Maraghi, Semarang : Toha Putra.
*          Ar-Rifa’i, M. Nasib, 2001, Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema Insani Press.
*          Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir An-Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
*          Azhari, Susiknan, 2005, ENSIKLOPEDI HISAB RUKYAT, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. I.
*        Az-Zuhaily, Wahab, Tafsir Al-Munir, Beirut, Libanon
*         Departemen Agama Republik Indonesia, 1997, Al Qur'an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang.
*          Ensiklopedi Islam Indonesia IAIN Jakarta, 1992, Jakarta : Djambatan.
*          Ensiklopedi Islam, Depag, Jakarta: cv. Anda utama.
*          Hamka, 1999, Tafsir Al-Azhar, Singapura : Pustaka Nasional, PTELTD.
*          Hasan Azis, Abdul, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, cet.I, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, jilid III.


                [1] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur'an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur'an, Jakarta, Bulan Bintang, 1997, hlm. 176
                [2] Ibid, hlm. 532
                [3] Ibid, hlm. 459
                [4] Ibid, hlm. 387
                [5] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis Metode Hisab-Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya,.hlm.55
                [6]   Ibid, hlm.56
                [7] Muhyiddin Khozin, 2005, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Jogja : Buana Pustaka, hal. 88.
[8] Ahmad Izzuddin, op.cit.,  hal. 56-57.
[9]  Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, Semarang : Toha Putera, hal. 66
                [10] Ibid, hal.89-94.
[11]  Susiknan Azhari, ENSIKLOPEDI HISAB RUKYAT, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, cet. I, hal. 167-168
                [12]   http://rukyatulhilal.org/
                [13]   http://www.syariahonline.com/
                [14]   http://id.wikipedia.org/wiki/Shalat_Dhuha
[15]   Susiknan Azhari, ENSIKLOPEDI HISAB RUKYAT, op.cit. hal 45.
                [16]  http://www.al-ahkam.net/
[17]  Husin Al-Habsyi, Kamus Ak-Kautsar Lengkap Arab Indonesia, Bangil : Yayasan Pesantren Islam (YAPI), 1986, hal. 435.
[18] Ahmad Ramli, GLOSSARIUM Istilah Bahasa Indonesia Berasal Dari Bahasa Arab, Jakarta : Tintamas Indonesia, 1974, hal. 66.
[19]  Muhamad Shodiq, Kamus Istilah Agama, Jakarta : Bonafida Cipta Pratama, 1990, hal. 139
[20] Ensiklopedi Islam Indonesia, op.cit., hal. 424
                [22] Ensiklopedi Ijmak, hal. 746.
                [23] Ibid, hal. 707.
                [24] Ibid, hal. 740.
                [25] Ibid, hal. 715.
                [26]  Ibid, hal. 746.
                [27]  Ahmad Izzuddin, FIQIH HISAB RUKYAH Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, 2007, Jakarta : Erlangga
[28]  Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar BruVan Hoeve
 
Selanjutnya : MENGHADAP KIBLAT


GEORGE MESCY LOVERS